www.daytekno.com – Selama ini kita sering menemukan artikel di media yang menceritakan betapa para artis dan musisi struggle untuk mendapatkan hak mereka dari royalty atau bagaimana susahnya artis untuk dapat memproduksi dan memasarkan lagu-lagu mereka. Selain dikarenakan masalah permodalan juga terkait dengan kemampuan mereka untuk dapat menembus jaringan bisnis di dunia entertainment. Hal lain yang tidak kalah penting adalah bagaimana karya mereka dapat diterima oleh label/records yang memang memiliki pendanaan dan jaringan luas distribusi seperti EMI, Sony Music, Def Jam, Universal dan sebagainya.
Saat ini untuk memproduksi musik dan mendistribusikannya tersedia banyak platform musik dunia seperti Spotify, iTunes/Amazon, Apple Music, Youtube Music, KKBox yang memudahkan proses distribusi. Didukung oleh intermediary distribusi seperti DistroKid, TuneCore intermediary ini akan menghubungkan para artis ini ke seluruh platform musik dunia dengan berbagai kemudahan, fasilitas dan dukungan. Namun musik yang dihasilkan harus tetap memperhatikan kualitas produksi dan etika untuk menghindari plagiarisme.
Sebagaimana kita ketahui bersama tatanan dan tatacara berbisnis berubah, begitu banyak cara berbisnis baru dilakukan untuk memotong jalur distribusi, memberikan kemudahan kepada pengguna serta proses dan tatacara untuk mendapatkan pendanaan melalui bantuan teknologi digital. Sepanjang bisnis tersebut proven yang tercermin dari indikator traction serta kemampuan untuk mengkonversi reach, impression menjadi suatu real business yang dibuktikan dengan number of sales atau penjualan dari product dan/atau jasa yang ditawarkan. Network, reach, impression dan berbagai indikasi opportunity yang ada dan dihasilkan teknologi ini dapat dikapitalisaikan untuk menaikkan value bisnis.
Saat ini artist tidak lagi terlalu menggantungkan diri pada records/label, meskipun peran label/records konvensional yang memiliki jaringan dan pengalaman selama puluhan tahun di bisnis ini tetap dapat memudahkan para artis yang memiliki akses ke mereka.
Beberapa platform musik dan platform intermediary distribusi musik yang ada saat ini sebenarnya mengawali dirinya sebagai Start-Up Company. Dengan menggunakan pendekatan bisnis start-up mereka mampu menciptakan bisnis yang efisien dan jangkauan yang lebih luas dengan pemanfaatan teknologi, sehingga mereka menjadi disruptor bagi bisnis label/records konvensional.
Sementara dari sisi artis umumnya mereka belum bertransformasi. Sebagian besar artis masih menggunakan cara konvensional, dimana mereka menjadi musisi, pencipta sekaligus performer atas karya cipta yang mereka ciptakan sendiri. Kemudian di saat secara finansial mereka telah memiliki kemampuan, mereka akan menunjuk artist manager untuk membantu mendapatkan kontrak bisnis dan mengatur jadwal mereka agar profesionalisme meningkat.
Dari sisi pendaaan, bagi yang memiliki cukup dana, mereka akan mendanai sendiri proyek rekaman dan produksi lagu mereka dan menggunakan network di lingkungan bisnis entertainment untuk mendapatkan kontrak. Itu sebabnya, sebagian besar artis yang sukses lebih dikarenakan adanya hubungan dengan artist lain. Hal mana mungkin sulit bagi pendatang baru untuk dapat menembus bisnis ini, terlebih mereka yang tidak memiliki cukup dana dan jaringan.
Sebagai bisnis, musik sebenarnya dapat dikelola dengan menggunakan pendekatan bisnis profesional melalui pendekatan start-up company. Hal mana dilakukan oleh The Morbius (IG @morbius.the) band remaja berusia 12-14 tahun yang memulai debut mereka setelah memenangkan kompetisi band yang diselenggarakan oleh Kolese Gonzaga. The Morbius Band telah menerbitkan single berjudul Get Up and Go yang bisa didengatkan melalui platform musik (silakan klik berikut untuk mendengarkan) Spotify, Itunes/Amazon/AppleMusic, dan Youtube Music, serta platform musik lain.
The Morbius dikelola dengan menggunakan pendekatan start-up melalui pendirian suatu perusahaan yang sekaligus akan menjadi label/records bagi mereka. Seluruh personil The Morbius menjadi pemegang saham pendiri perusahaan ini. Advisinvest Advisory membantu The Morbius melalui penunjukkan manajemen profesional yang bertindak sebagai board of management sekaligus mentor yang bertindak sebagai manajemen untuk mengatur seluruh proses aktivitas The Morbius termasuk aktivitas terkait finansial.
Manfaat dari penggunaan pendekatan start-up company akan memudahkan bagi The Morbius untuk berkembang secara profesional ke depan, mengingat setiap personel The Morbius memiliki talenta bermusik di atas rata-rata remaja di usia mereka dan dengan usia yang masih muda, mesih terbentang jalan menuju sukses untuk mendunia.
Sebagaimana pembahasan di awal, bisnis membutuhkan pendanaan dan umumnya artis di Indonesia menggunakan pendekatan konvensional pendanaan pribadi. Pendekatan start up company akan memudahkan The Morbius untuk mendapatkan akses pendanaan untuk memproduksi lagu, jingle, video clip dan aktivitas komersial lain nantinya. Dengan berbagai data yang menunjukkan potential business opportunity yang dapat diraih oleh partner bisnis melalui data/informasi network (number of followres), number of streaming (daily, monthly, and annual streaming), reach of streaming (countries, cities, listeners-demographics). Data-data tersebut dapat dikapitalisaikan karena menunjukkan future prospect dan value dari The Morbius.
Data-data tersebut dapat dipergunakan sebagai data analytics yang memudahkan manajemen untuk menghubungi bisnis yang berpotensi untuk memanfaatkan karya-karya yang dihasilkan oleh The Morbius seperti menjadi icon atau brand ambassador, pembuatan jingle iklan atau pemanfaatan musik mereka sebagai background game, sinetron, film hingga show/konser.
Kapitalisasi future value ini akan memudahkan The Morbius sebagai start up untuk mencari pendanaan dari angel investor melalui proses fund raising dimana para angel investor ini akan menjadi pemegang saham baru disamping para personil sebagai pemegang saham pendiri. Dari sisi potential partner bisnis yang akan memanfaatkan jasa The Morbius, tentunya mereka lebih suka berkontrak dengan suatu badan hukum yang dikelola oleh manajemen profesional dibandingkan berkontrak secara pribadi dengan salah satu atau masing-masing personel atau melalui manajernya sebagai perwakilan individu.
Dari sisi transparansi, seluruh aktivitas dan kinerja finansial juga dicatat secara rapi melalui pembukuan yang dikelola oleh manajemen, termasuk pengurusan copy right, perpajakan dan sebagainya. Kondisi ini tentunya akan sangat memudahkan personil, sehingga mereka dapat fokus berkarya.
Memang saat ini usia personil The Morbius masih sangat muda (12 – 14 tahun) namun mereka telah memulai sesuatu di usia dini secara profesional, dan bagi mereka The Morbius Music Factory sebagai vehicle merupakan implementasi praktis dari ilmu yang mereka dapat di sekolah, bagaimana menjadi real enterpreneur dalam rangka mengkapitalisasi talenta dan mengkombinasikan implementasi ilmu yang mereka dapatkan dari sekolah.
Informasi lebih lanjut mengenai The Morbius, follow IG @morbius.the dan anda dapat berkomunikasi dengan management team The Morbius melalui contact yang tertera di laman IG tersebut.
KOMPASIANA ARENA
Survei Pembaca Kompasiana 2022 Berhadiah 1 Juta Rupiah!
Survei Berhadiah Tentang Employer Branding
TTS – Teka – Teki Santuy Eps 102 Tanaman Obat Paling Populer di Indonesia
”Artikel ini bersumber sekaligus hak milik dari website peluangusaha.kontan.co.id. Situs https://www.daytekno.com adalah media online yang mengumpulkan informasi dari berbagai sumber terpercaya dan menyajikannya dalam satu portal berita online (website aggregator berita). Seluruh informasi yang ditampilkan adalah tanggung jawab penulis (sumber), situs https://www.daytekno.com tidak mengubah sedikitpun informasi dari sumber.”